Bank Cimb Niaga Kbmi Berapa
CIMB Niaga, Indonesia’s 2nd largest private bank by assets, offers our customers the most comprehensive portfolio of conventional and shariah banking services in Indonesia, combining our strengths in consumer banking, SME, commercial and corporate banking, treasury, and payment services with the support of our 400 over branches nationwide along with our branchless banking platforms.
PT CIMB Niaga Sekuritas, an entity established in 2018 as the result of internal reorganization due to the strategic partnership between CIMB Group Holdings Berhad and China Galaxy International Financial Holdings Limited, was established to maintain the investment banking business in Indonesia. Despite being a newly established entity, we aim to continue to provide excellent investment banking services to our clients.
PT Bank CIMB Niaga Tbk adalah bank swasta anak usaha CIMB yang berkantor pusat di Jakarta, Indonesia. Untuk mendukung kegiatan bisnisnya, hingga akhir tahun 2020, perusahaan ini memiliki 374 kantor cabang, 33 kantor kas bergerak, 44 titik pembayaran, dan 4.316 ATM yang tersebar di seluruh Indonesia.[3][4]
Logo Bank Niaga dan LippoBank sebelum penggabungan secara resmi membentuk Bank CIMB Niaga pada tanggal 1 November 2008.
Perusahaan ini didirikan oleh Soedarpo Sastrosatomo, J. Panglaykim, Roestam Moenaf, dan Ali Algadri pada tanggal 26 September 1955 dengan nama PT Bank Niaga.[5] Pada tanggal 11 November 1955, bank ini mendapat izin dari Kementerian Keuangan untuk beroperasi sebagai sebuah bank umum. Pada tahun 1973, Bank Agung digabung ke dalam bank ini. Pada tanggal 22 November 1974, Bank Indonesia menetapkan bank ini sebagai sebuah bank devisa. Pada tahun 1978, Bank Tabungan Bandung digabung ke dalam bank ini, dan pada tahun 1983, Bank Amerta juga digabung ke dalam bank ini.[3][4]
Pada tahun 1987, bank ini menjadi bank asal Indonesia pertama yang menyediakan ATM. Pada tanggal 29 November 1989, bank ini resmi melantai di Bursa Efek Indonesia.[3][4] Dengan kemunculan Pakto 88, Bank Niaga kemudian membentangkan sayapnya di industri keuangan dengan mendirikan sejumlah perusahaan seperti Asuransi Niaga Cigna Life, Niaga Aset Manajemen, Niaga Leasing Corporation, Niaga International Factors, Saseka Gelora Finance, Niaga Securities, dan Bank Sumitomo Niaga.[6]
Selama bertahun-tahun, kepemilikan Bank Niaga dikuasai oleh Soedarpo dan pengusaha lain asal Maluku, Julius Tahija (sejak 1972). Di bawah kendali keduanya bank ini berkembang dengan baik sebagai salah satu bank swasta nasional terbesar.[7][8] Meskipun dikenal sebagai bank yang inovatif, Bank Niaga juga dikenal sebagai bank yang konservatif dan non-ekspansif.[9] Namun, secara mengejutkan, Tahija di bulan Juli 1997[10] menjual seluruh kepemilikannya kepada Hashim Djojohadikusumo dengan harga premium, Rp 8.000/lembar untuk 40% saham.[11] Soedarpo sebenarnya tidak setuju dengan penjualan itu,[12] namun dirinya terpaksa merelakannya karena bukan pemegang saham mayoritas. Ia bersama Tahija, Idham dan Robby Djohan kemudian angkat kaki dari bank yang dirintisnya tersebut.[13]
Kekhawatiran Soedarpo seakan-akan terbukti kemudian, ketika setahun kemudian bisnis Hashim "oleng" diterjang krisis finansial Asia 1997. Over-ekspansi dari putra begawan ekonomi tersebut, yang menjadi bumerang, ikut membuat Bank Niaga seret.[14] Pada saat yang sama, pemegang utama (20%) saham Bank Niaga lainnya, RHB Bank (Malaysia),[15] juga sedang dalam keadaan sulit sehingga tidak mampu membantu Bank Niaga memenuhi kecukupan modalnya.[16]
Gagalnya kedua pihak menyuntikkan modal baru membuat pada 2 Juli 1999 Bank Niaga dikuasai penuh oleh pemerintah Indonesia melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), sebagai Bank Take Over (BTO).[17] Sama seperti bank-bank dibawah BPPN lainnya, Bank Niaga kemudian direkapitalisasi untuk memperbaiki kondisinya. Pasca-penyehatan, saham Bank Niaga milik pemerintah (71%) kemudian ditawarkan ke investor strategis (divestasi). Mulanya ada 4 peminat saham tersebut: konsorsium pimpinan Bank Victoria International, ANZ (Australia), Commerce Asset-Holdings Berhad (kini CIMB Group, Malaysia), dan Batavia Investment Fund.[18] Meskipun sempat menuai kontroversi,[19] pada 22 November 2002, Commerce Asset-Holdings resmi ditetapkan sebagai pemenang tender divestasi dengan harga Rp 1,06 triliun. Pada saat itu Commerce Asset-Holdings hanya mendapat 51% saham, sementara 20% saham sisa milik pemerintah dilepas melalui market placement di tahun 2003.[20][17]
Pada tanggal 16 September 2004, bank ini membentuk Unit Usaha Syariah untuk dapat menyediakan layanan perbankan dengan prinsip syariah.[3][4] Di bawah Commerce Asset-Holdings, Bank Niaga berusaha difokuskan tetap pada bisnis korporasi, dan bisnisnya berusaha disinergikan dengan usaha perbankan Commerce Asset-Holdings di Malaysia.[21]
Kantor LippoBank di Jl. Ahmad Yani
, 2008 (kini menjadi CIMB Niaga Syariah)
Plaza CIMB Niaga, awalnya bernama Plaza Lippo, berlokasi di Jl. Sudirman Kav. 25, Jakarta dan berdiri tahun 1991-2015.
Bank ini memulai sejarahnya pada tanggal 11 Maret 1948 sebagai salah satu bank swasta pertama di Indonesia dengan nama "NV Bank Perniagaan Indonesia" (BPI). Pada tahun 1977, NV Central Commercial Bank digabung ke dalam bank ini. Pada bulan Maret 1989, bank ini mengubah namanya menjadi "PT Bank Lippo" (dengan nama dagang Lippobank/Bank Lippo). Pada tahun yang sama, PT Bank Umum Asia (berdiri di tahun 1957) digabung ke dalam bank ini. Pada tahun 1989, bank ini resmi melantai di Bursa Efek Indonesia, dengan kode emiten LPBN. Perusahaan ini kemudian melakukan ekspansi besar-besaran, sehingga pada Desember 2003, bank ini telah eksis di 120 kota di seluruh Indonesia. Bank ini pun fokus memberikan pinjaman pada sektor komersial retail, perusahaan distribusi dan perdagangan kecil dan menengah.[22]
Pada saat didirikan, BPI mulanya dimiliki oleh sejumlah pengusaha pribumi seperti Hasjim Ning, Koesmoeljono dan Agus Musin Dasaad dan berbasis di Yogyakarta. Pendiriannya dimaksudkan untuk membantu keuangan kaum republiken yang saat itu sedang memperjuangkan kemerdekaan dari Belanda, dengan mengurangi ketergantungan dengan bank asing.[23] Pada tahun 1960-an Ning tampil menjadi pemegang saham utamanya. Namun, kinerja BPI tidaklah spesial, dengan hanya tercatat sebagai bank papan bawah. Di awal 1981 bank ini mencatatkan aset Rp 16,3 miliar, dan sempat mengalami kesulitan keuangan.[24][25]
Pada tahun 1975, Ning bertemu dengan bankir Bank Central Asia, Mochtar Riady dan menyadari potensinya untuk mengembangkan BPI. Namun, Mochtar menolak dengan halus, karena menganggap dirinya sedang berusaha mengembangkan BCA. Enam tahun kemudian, situasi kedua bank kini berkebalikan, dengan BCA menjadi salah satu bank terbesar, sedangkan BPI masih berkinerja jauh di bawahnya. Pada tahun 1981 itulah Ning kembali menawarkan Mochtar peluang untuk mengembangkan BPI. Sebagai hasil kesepakatan keduanya, Mochtar diberi saham 49% (kemudian dibagi bersama Soedono Salim), sedangkan sisanya masih milik Ning.[26]
Di bawah Mochtar, BPI berkembang dengan pesat, dengan pada 1987 mencatatkan aset Rp 253 miliar. Pada akhir periode itu juga, pemegang saham lain melepaskan sahamnya di bank ini, sehingga saham BPI dimiliki oleh Mochtar secara mayoritas. Setelah merger dengan Bank Umum Asia dan berganti nama menjadi LippoBank, bank ini berkembang lebih jauh lagi, dengan hanya dalam waktu 9 bulan bisa mendapatkan izin bank devisa dan go public.[24] LippoBank kemudian menjadi salah satu bank swasta nasional terbesar di Indonesia dan jaringan bisnisnya terbentang dari Hong Kong hingga Amerika Serikat. Tidak hanya itu, LippoBank juga menjadi tonggak bisnis dari kerajaan usaha keluarga tersebut yang diberi nama Lippo Group, yang utamanya ada di bidang properti dan keuangan. Keberhasilan Mochtar tersebut membuatnya dijuluki sebagai The Magic Man of Bank Marketing.[27][24][22]
Sayang, keberhasilan bank ini di bawah bendera Lippo dan kendali Mochtar hanya bertahan seumur jagung. Krisis moneter di tahun 1999 membuat Bank Lippo masuk ke dalam program rekapitalisasi pemerintah, demi menaikkan rasio kecukupan modalnya menjadi 4%. Total biaya proses tersebut (yang dilakukan pada 28 Mei 1999)[28] diperkirakan sebesar Rp 6,5-7,7 triliun yang dibayar dengan 60% saham keluarga Riady di bank ini.[29][30] Sebagai ganti manajemen lama (meskipun masih ada dalam jajaran komisaris), pada tahun 1999 hingga 2002 manajemennya dipegang oleh ING Barings. Lepas dari pengelolaan perusahaan keuangan internasional tersebut, justru bank ini diterjang rumor tidak sedap mengenai permainan harga saham, rekayasa jual beli saham, masalah pengembalian dana rekapitalisasi, pelanggaran pemberian kredit, dan manipulasi laporan keuangan. Diduga, aksi permainan harga tersebut dilakukan agar keluarga Riady dapat membeli kembali mayoritas saham LippoBank dari tangan pemerintah dengan harga murah.[31][30][32]
Terlepas dari masalah tersebut, seperti bank-bank lainnya di bawah BPPN, kemudian saham pemerintah di LippoBank dilepas ke investor strategis, yang prosesnya dimulai pada akhir 2003.[33] Mulanya, ada sekitar 50 calon yang berminat,[34] namun akhirnya hanya tersisa tiga konsorsium[35] yang lolos seleksi: Eurocapital Asia, Summit Investment dan SwissAsia Global.[36] Pada 27 Januari 2004 konsorsium SwissAsia terpilih sebagai pemenang 52,05% saham LippoBank dengan total transaksi senilai Rp 1,2 triliun yang dilakukan pada 25 Februari 2004.[28][37][38] Adapun konsorsium ini beranggotakan sejumlah bank asal Eropa, seperti Raiffeisen Zentralbank dan Swissfirst Bank AG.[39]
Namun, kepemilikan oleh konsorsium tersebut hanya berumur pendek. Di bulan Juli 2005, mereka memutuskan untuk menjual saham bank ini kepada peminat lain, yaitu Khazanah Nasional, perusahaan investasi milik pemerintah Malaysia (juga pemegang saham mayoritas Commerce Asset-Holdings Berhad).[40] Akhirnya, pada 30 September 2005,[28] 52,05% saham LippoBank jatuh ke tangan Khazanah Nasional (lewat Santubong Investments B.V.),[41] yang kemudian naik menjadi 87,52% pasca tender offer di tanggal 20 Desember 2005.[42] Saat itu, LippoBank mencatatkan sekitar 2,8 juta nasabah, 395 kantor cabang dan 690 buah ATM.[43] Pada akhir 2006, pemerintah juga melepas sisa sahamnya di bank ini lewat mekanisme market placement.[44]
Dengan penjualan mayoritas saham LippoBank ke investor asing tersebut, maka berakhirlah riwayat bisnis keluarga Riady di dunia perbankan (sebelum kembali lagi dengan Bank Nationalnobu di tahun 2010). Pada 4 Maret 2005, Mochtar mengundurkan diri dari kursi komisaris utama di bank ini.[25] Lippo kemudian juga melepas banyak aset perbankannya di luar negeri pada periode yang sama. Menurut Mochtar, penjualan tersebut didasari keinginannya untuk meninggalkan penuh bisnis perbankan (yang membesarkan namanya), karena dirasa terus menguras koceknya demi menambah permodalan.[27]
Sebagai pemilik mayoritas saham Bank Niaga (melalui CIMB Group) dan LippoBank, sejak tahun 2007, Khazanah telah berencana untuk menggabungkan kedua bank tersebut, sesuai kebijakan dari Bank Indonesia. Pada bulan Mei 2008, nama Bank Niaga diubah menjadi CIMB Niaga. Pada tanggal 1 November 2008, LippoBank resmi digabung ke dalam CIMB Niaga, diikuti dengan peluncuran logo CIMB Niaga. Pada tahun 2017, Otoritas Jasa Keuangan meningkatkan status bank bank ini menjadi Bank BUKU 4.
1 & 2) Akan efektif setelah mendapatkan persetujuan OJK
3) Akan efektif setelah mendapatkan persetujuan OJK
Nếu bạn đang chuyển khoản quốc tế đến một tài khoản ngân hàng Bank CIMB Niaga, hoặc nếu một ai đó đang chuyển tiền mặt vào tài khoản ngân hàng Bank CIMB Niaga ở ở Indonesia của bạn, bạn sẽ được yêu cầu cung cấp một mã BIC/SWIFT cùng với các thông tin như địa chỉ ngân hàng. Tuy nhiên, việc sử dụng các ngân hàng truyền thống để gửi tiền ra nước ngoài có thể rất chậm và đắt đỏ. Hãy thử Wise để chuyển tiền quốc tế nhanh chóng, tiết kiệm và bảo mật.
PT Bank CIMB Niaga Tbk is Indonesia's sixth largest bank by assets, established in 1955. CIMB Niaga, which is majority-owned by CIMB Group, is the largest payment bank in terms of transaction value under the Indonesian Central Securities Depository. With 11% of market share, CIMB Niaga is the third largest mortgage provider in Indonesia.[1]
Logos of Bank Niaga and Lippo Bank until both were officially merged into CIMB Niaga on 1 November 2008.
The bank was first established in 1955 as a national private bank. In 1969 when crisis hit the private sector in Indonesia, Bank Niaga remained sound and was eligible for Bank Indonesia’s Guarantee. Then in November 1974, Bank Niaga revamped its business plans and became a full service public bank to better meet the demands of customers.
After a merger period with several other commercial banks, the function and individuality of the Bank were restored in 1975. The status was resumed to that of a state-run commercial bank. The official name was changed to "Bank Niaga 1955".
In 1976, the bank launched a Professional Loan Program, providing loans for professionals like engineers and doctors. In 1981 and 1982, Bank Niaga 1955 became the first bank in Indonesia to apply an online banking system as well as a network system for its branches. It introduced a foreign currency exchange network in various branches in 1985 along with a variety of new products.
In 1987, Bank Niaga 1955 set itself apart from the competition when it became the first bank in Indonesia to introduce ATM services.
In June 1989, Bank Niaga made an initial public offering (IPO) to be listed on the Indonesian Stock Exchange. The shares were over-subscribed by four times the issued shares at 20.9 million shares.
In 1991, Bank Niaga became the first bank to provide online banking facilities in Indonesia.[2]
In 1998, Bank Niaga expanded its customer base and began providing services to upper-middle class customers.
In 1999, Bank Niaga was put under the supervision of the Indonesian Bank Restructuring Agency, because it did not meet the 20% shareholders’ funds required for the recapitalization exercise.
In 2002, Commerce Asset-Holding Berhad (now known as CIMB Group) acquired Bank Niaga. It was re-branded in May 2008, several months prior to the merger, from PT Bank Niaga Tbk to PT Bank CIMB Niaga Tbk.
Lippo Bank was Indonesia's 9th largest bank in Indonesia by the number of the assets. It was established in 1948 as Bank Perniagaan Indonesia. In March 1989, Bank Perniagaan Indonesia was renamed as Lippo Bank controlled by Mochtar Riady together with the Lippo Group. Indonesia sold the stake in Bank Lippo as part of asset disposals aimed at cutting the government's budget deficit and recouping the 450 trillion rupiah it spent to bail out banks after the 1997 Asian financial crisis. The agency took control of Bank Lippo from its previous owners, the Riady family, after the government injected funds into the lender in 1999 to boost capital. Swissasia Global bought 52.1 percent of Bank Lippo in February 2004 from the Indonesian Bank Restructuring Agency for $142 million. The family continued to hold a minority stake, partly through PT Lippo E-Net, which owned 5.6% of the lender, as well as controlling rights.
Lippo Bank's United States subsidiary was implicated in the scandal of improper contributions to the Clinton-Gore campaign. According to a 1998 Senate Governmental Affairs Committee report, by 1992, while employed by Lippo Bank in California, John "Huang began to raise illegal foreign money for the DNC through Lippo-owned shell companies". This money, which wound up in Democratic coffers, was ultimately traced to the "greater China region. Huang's colleagues at Lippo Bank [...] never understood his corporate duties and described him as a `mystery man,' " the report said.[3]
On 26 August 2005, the bank's shareholders and Bank Indonesia approved the sales of the 52.05% controlling stake held by Swissasia Global to Santubong Investment B.V which was wholly owned by Khazanah Nasional Berhad, the investment arm of the Malaysian federal government. The sales took effect on 30 September the same year.[4][5]
Since Khazanah Nasional Berhad had an indirect interest of 93 percent in Lippo Bank through Santubong Investment BV and Greatville Pte. Ltd., and also owns 64 percent of Bank CIMB Niaga through Bumiputra-Commerce Holdings, Bank Niaga and Lippo Bank had to be merged to comply to the Indonesian central bank's "single presence policy".[6] On 1 November 2008, Lippo Bank officially merged with Bank CIMB Niaga[7] and are known as PT Bank CIMB Niaga Tbk, the Indonesian subsidiary of CIMB Group.
Lippo Group immediately returned to Indonesian banking industry in 2010 when the group acquired the Nobu Bank [id] in 2010.[8]
Wikimedia Commons has media related to
%PDF-1.6 %���� 8784 0 obj <>stream h�\�A�0� �[C3DG�A��e�?5�l���t(��ǃǏ�#'@����d��*!�'L�aKQA��*����z�~Dru�y:��K2�^M�%_C���`%^�/u^/�����&&c-�����I����z�A�3��lĶ}0 �d<� endstream endobj 8785 0 obj <>stream h�2417V0P0417Q07S���w�/�+Q0�4���L)�6212*R 2La3�ư 1b�C*R��S���fAM2�0�(7�03M, F�I��`��bb@bQ*�#S�" T�-D endstream endobj 8786 0 obj <>stream hތ�mO�0�?��C^nB�?I���P��PZ��Q�`/���du�`�����I`*$$�w�;��o� ˶��Ӷ<϶�W1� \CV�)[�U��0erF�3�`�#c��1�)�p�).p����+�p������0��$�X��)M2S+D�$�W�9-��/���֜�F�XpQ�9��z@E�T��c!�K,%1�>R��2��`NJ!G�"+��%J&����^��TZ5���HP��=��BS��S���M��J5�����I��-�*U%� :�d��<`��HR|�5�o9a#Ζ�r}��t1���g����Ra�Ya����e�����W��� �������0-��5<�D3���b�ɲ1Ӕ�-�m���x�w%�oTɬ�B��I���z�* �T���Uڈ�E�`n���~�g���w�����;O8:{$\�mH��8]�l��N`��YLNφ'B�,oM)���0�ƾ���+� �2� endstream endobj 8787 0 obj <>stream hޔ�ko�0���C>n��KB�T!���n��^Xw�`x8v�J����`�i���ؑ���y⇍C���azQ#.��Ǿwt�c���^3p���I���Lߑ}�ctp�S���s�p����>.q�k��#nq�{<`�Ox�g|�r҆�������Y1�,��4��Z�gbXA %�t�,c�PE�3)hV0Z$�ec��3'�ƪИ`����"}�S����)������ �l�Rr9r�IV�J{S�.Sr*G�Fȅ�d�YA�r�vV(K���UT;�'�V�����ˉ h�����Ko�F�779K6���'�����҄9���3^�BZ��)-[��Ct�ύJ�NG-�����jA褨��^6�W�\P����|����XF���N���֦֯�_X&xr\f�긳���hY�(��sN�e�s�4W�������/��/���o-_)ަv�J�m��+[���(���Xɰ��F���Y�����^쑿{�{��|?{��a���p?�_�+����Qb�����{Xo��[��w9���5��]�����]���P]s]�����A9�7��E�S��n��r��.�˛��9Y���b�Z+֮���A���)� *�� endstream endobj 8788 0 obj <>stream h�kO�0����?nBՉ�8 !QhW6v㶍�n�N��~Nڰd -�!U��Q����8�9>�e�E�O��!�����UH���b6���%����#��ķm��t ��l9���X䯱�.����x���q���O��/8�1Np�3|�7|�98x��L�d�s�E�<�Ì�.E.�$��x&�s)E�FJ�Čq�1�XI�3�� �1�3L0���Z`"1Q�SL3�͓0��6��~�Rh� �(PPfL��L$���Z�0���(��#��WW���\����5Y�R�j����Ƞ�E-V�ŵ��hY��) ��g�0�� s\�7np�;܉L���X����A_�&.�*ɻ]u�C��tlf�0�I��?�����=�;�_}��ష?8�:M̞e9��h�PJ,�"��+�3B-'��(�.TdQ��ߖ�`���S�NX�����N�8u�WlP�,�/���~����]���86e�k����rt|�����V�3w�J]�:#�X�(����«u��bI5�6��ʽ[Ѡp�E�0�+wY������I�9R1Oڽ�.�`�u�r�մ�˧��^[�5�����kϏ��?/^=5B܊uP���"C(5^ Y#D��y-����J? et5 �j/�{�u=��Hirw�q����P�#�M���zU�V�ڜ���=�6;W��;�x:A3�ӂ�w����x=jWx�+�>�?��]�J�b��^��Vy�(����1oU�z��_��?�dz���? �'9� endstream endobj 8789 0 obj <>stream h�ԛQo7ǿ�>�MJ�HE�-A�u���F�a��4�o?��2��c����!�D�'�E�I�`�D kIYS���H��kB�ĨV���5�n~����jֹX�j%%[=��f .5��jE3�5U��M�2����JV"��J���j%X�AN�Z�RA��cg�D5b.�J3dn� 3[�E�Y�� �"h �V%� ט���C�p�͘Es"`�գJ��:�aaR�ԲM�fKx�j�0('��c*��XQ�֜�'@m$��ͻ1x��V0x�� ^�&|��,|�����kbS��� &�uo�&B)4�G�����Io��͆�]��Vc4�dF��yD,����ͪ�U7#7cu��I�CGV7����mU��w���/�L��/�z����m�67Sk�����l2�z�>�}��~����-߷���ݗv��eXq_�+&ʩa[e�^ie�5_��t�5��Zᕋ(RV���7W�֦�d:x�o�_w�^o���ǎ���� �ٚ��������)!��xj�DŽ���![j 5[��l������-h��(����PlM#w�P�e���Z(�^@1��;R' ��^@�����P���BH�P��A�z�$#�6C��2���2^��bk�� >OC�T�@�P��n3��2��آ�w'�آ憽�b�� �� ��� (�L-�żLr����Bh�@9�s�S�9��'�����Wš�=�����sw��ru���l�6v{r�������!�ҹ_b��7��2~F:=+�o�o(uj������i�~�C��}=����5Ǧ/.3�Z{s���l�ޭ��x���~�[���i;�\o>^�����u���$�ɯ�������n�B����0����r:�y}3LMG�yb?������LJ�k&;��@ A��!���m���J}� 6~�&
Offenbar hast du diese Funktion zu schnell genutzt. Du wurdest vorübergehend von der Nutzung dieser Funktion blockiert.
Offenbar hast du diese Funktion zu schnell genutzt. Du wurdest vorübergehend von der Nutzung dieser Funktion blockiert.
Offenbar hast du diese Funktion zu schnell genutzt. Du wurdest vorübergehend von der Nutzung dieser Funktion blockiert.